home

Jumat, 20 Mei 2011

MENJADI SUFI BIROKRAT

Sufi birokrat merupakan istilah yang mungkin masih asing bagi kita atau bahkan istilah yang secara substansi sulit dipadukan. Kita mengenal sufi sebagai seorang yang mendalami ilmu tasawuf, pribadi yang suci, santun, penuh kezuhudan dengan banyak menjauhi urusan duniawi, dan bahkan terkesan jauh dr kemewahan dunia. Hal ini berbeda dengan birokrat yang biasa diidentikkan dengan kekuasaan, korupsi, urusan duniawi, harta benda, dan bahkan oleh para kritikus, profesi birokrat penuh dengan kesalahan karena berbuat apapun tetap saja disalahkan, apalagi tidak berbuat malah tambah disalahkan.
Kemudian bagaimana mungkin seorang birokrat diintegrasikan menjadi seorang sufi juga?? Topik ini yang coba akan kami bahas dalam tulisan ini.   
Hakekat Kesufian
Menurut Prof. Harun nasution(3), istilah sufi bisa dikaitkan dengan kata ‘safa’ yang artinya suci. Jadi sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi berusaha menyucikan jiwa mereka melalui banyak melaksanakan ibadah. Contoh tokoh sufi jaman dahulu adalah Abu hasyim al kufi, Rabi’ah al adawiah, Dzunun al misri, dan Abu yazid al bustomi. Dalam kehidupan sehari-hari, tokoh sufi tersebut banyak menggunakan ketajaman akal qalbu/hati sebagai alat pengambilan keputusan daripada akal/otak yang ada di kepala. Proses menjadi sufi membutuhkan perjuangan yang tidak mudah karena memerlukan penyucian jiwa secara istiqomah (terus menerus) melalui ibadah seperti shalat, puasa, sedekah, dzikir dll sehingga nantinya akan terjadi penyucian jiwa secara berangsur.
Berdasarkan ilmu tasawuf, beberapa pesan kesufian yang terpenting sebenarnya adalah ajakan agar kita menyadari sepenuhnya sifat ketidakkekalan dari kehidupan  dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana (tidak kekal) dan yang kekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini akan bermakna apabila senantiasa diorientasikan kepada Tuhan.
“Bukankah Aku ini Tuhanmu??”, Mereka (anak cucu Adam) menjawab,”Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi”. (QS 7:172)
Jadi kesadaran berkeTuhanan melalui penyucian jiwa menjadi kata kunci sufiyah. Melalaikannya hanya akan membuat kita terjebak oleh “perangkap” yang penuh dengan kefanaan.  Dalam perangkap seperti itu, kita akan cenderung berorientasi kepada usaha mewujudkan  kesenangan  sementara  yang segera dapat dinikmati saat ini dan disini, yaitu di  dunia  yang  fana  ini.  Perangkap inilah yang bisa membuat kita melupakan kematian yang pasti terjadi. Padahal manusia dikatakan sebagai manusia yang hidup ketika ruh masih ada dalam jasad, tetapi jika ruh tersebut pergi maka yang terjadi adalah ketiadaan hidup.
Allah memegang nyawa (seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika ia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan (QS 39:42)
Dalam kenyataannya, mengapa manusia seringkali melalaikan dan lupa kepada Tuhan bahkan segala aktivitas kita didunia ini justru lebih banyak tersita untuk hal-hal yang bersifat pemenuhan duniawiyah belaka ??  
Imam Ghazali mencoba mencari penyebab hal ini dengan teori Cermin (al Mir’ah) (4).  Menurutnya hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur/cahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersih niscaya ia akan menangkap cahaya petunjuk illahi dan memantulkan cahaya tersebut kesekitarnya. Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan 3 kemungkinan:
Pertama, cerminnya terlalu kotor oleh perbuatan-perbuatan dzalim dan aniaya sehingga cahaya illahi tidak dapat ditangkap dengan baik oleh cermin hatinya.
Kedua, diantara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak dapat memungkinkan cahaya illahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang menjadikan harta, kekuasaan, dan kesenangan duniawi sebagai orientasi hidup.
Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya akibat sikap kekafiran yang secara sadar mengingkari Tuhan. Akibatnya cahaya illahi tidak bisa dipantulkan oleh cermin hatinya.
Menurut Al Ghazali, agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang jernih maka harus senantiasa berusaha mensucikan jiwanya dengan jalan menguasai hawa nafsu yang rendahan. Karena nafsu akan selalu mendorong pada perbuatan yang ingkar baik berupa nafsu immateriil (dorongan nafsu untuk selalu ingin dihormati, diutamakan,dipuji, disegani dll) maupun nafsu materiil/syahwat (dorongan berlebihan untuk memiliki harta benda, wanita, anak, binatang ternak, kebun dll).
Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafs itu cenderung mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafs) yang diberi rahmat oleh Tuhan-ku (QS 12:53)
Akan tiba satu jaman atas manusia dimana perhatian mereka hanya tertuju pada urusan perut dan kehormatan mereka hanya benda semata-mata. Kiblat mereka hanya urusan wanita (seks) dan agama mereka adalah harta mas dan perak. Mereka adalah makhluk Allah yang terburuk dan tidak akan memperoleh bagian yang menyenangkan di sisi Allah. (HR. Ad-Dailami)
Menurut Al Ghazali, cara yang paling baik mengendalikan hawa nafsu adalah melalui perjuangan (jihadun nafs) dan latihan ruhani (riyadloh) dengan senantiasa mengharap pertolongan Allah. Prosesnya melalui pelaksanaan syariat yang sudah diajarkan nabi SAW, baik itu yang hukumnya wajib dan juga ditekankan melakukan amalan-amalan sunnah secara terus menerus. Oleh karena itu seringkali kita melihat orang-orang dilingkungan pondok pesantren salafiyah melakukan berbagai macam amalan istiqomah seperti puasa senin kamis atau puasa nabi daud, puasa setiap hari, shalat sunnah dll yang pada intinya adalah menuju kesucian jiwa agar bisa mendekati Tuhan yang maha suci.
Profesi birokrat (pegawai negeri) dalam Islam
Istilah birokrat cenderung diidentikan dengan orang yang menjalankan birokrasi, lebih populernya ditujukan kepada orang-orang yang bekerja dalam pemerintahan. Bisa juga termasuk pejabat negara, maupun pegawai negeri sipil (PNS). Saat ini menjadi pegawai negeri masih menjadi primadona pilihan hidup bagi masyarakat. Indikatornya terlihat dari begitu banyaknya orang yang melamar untuk menjadi PNS. Islam sendiri membolehkan kita seorang muslim untuk bekerja mencari rezeki dengan jalan menjadi pegawai negeri, dengan catatan selama kita mampu memikul pekerjaannya dan dapat menunaikan kewajibannya. Menjadi pegawai negeri juga pernah menjadi pilihan Nabi Yusuf yaitu saat dia mendapat tawaran pekerjaan oleh Raja Mesir.
"Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (QS 12: 55) (1)
Dari ayat tersebut menunjukkan bahwa pegawai negeri / abdi negara merupakan hal yang mulia jika dibarengi dengan adanya kesadaran berkeTuhanan. Nabi Yusuf telah memberikan teladan yang baik bahwa ia secara sadar dengan kemampuan, amanah dan pengetahuannya menjadikannya merasa terpanggil untuk menyelamatkan dan mensejahterakan rakyat mesir saat akan terjadi bencana kekurangan pangan (QS 12: 43-53). (1)
Tetapi hal ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana jabatan maupun menjadi pegawai negeri merupakan sesuatu yang diperebutkan. Seseorang bisa mengeluarkan banyak uang untuk menyuap kanan kiri hanya demi meraih jabatan atau bisa menjadi pegawai negeri. Cara-cara seperti inilah yang sangat dilarang oleh Tuhan. Karena menjadi pegawai maupun pejabat dengan cara menyuap, dikemudian hari bisa menyebabkan timbulnya banyak kemudharatan. Dalam kasus ini, Al-Qur’an telah menceritakan teladan Nabi Sulaiman dalam mensikapi upaya penyuapan dalam bentuk hadiah harta benda yang mempesonakan hati serta mata yang dikirim oleh Ratu Balqis.
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan Allah kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu (QS 7:36) (1)
Allah melaknat penyuap, penerima suap dan yang memberi peluang bagi mereka. (HR. Ahmad) (2) 
Tentang persoalan jabatan pemerintahan, Qur’an juga memberikan contoh ketika nabi Musa meminta saudaranya Harun untuk memimpin kaumnya. Hal ini menunjukkan bahwa mengemban amanah suatu jabatan tertentu baik fungsional maupun struktural diperbolehkan dalam islam dengan catatan kita mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk tetap fokus menegakkan yang haqq dan dilarang mengikuti jalannya orang-orang fasik.
Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan (QS 7:142) (1) 
Dalam hal ini juga diriwayatkan, Abu Dzar pernah meminta kepada Nabi untuk diberi suatu jabatan, maka oleh Nabi ditepuknya pundak Abu Dzar sambil beliau bersabda:
"Hai Abu Dzar! Engkau orang lemah, kekuasaan adalah suatu amanah dan kelak di hari kiamat akan menyusahkan dan menyesalkan, kecuali orang yang dapat menguasainya karena haknya dan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya." (Riwayat Muslim) (2)
Berdasarkan ayat tersebut, memang ada baiknya kita seorang muslim jangan pernah meminta suatu jabatan dan berambisi memperolehnya, tetapi jika diminta dan hati nurani kita merasa sanggup dan amanah untuk melaksanakannya dengan tujuan mengharap ridlo dan pertolongan dari Tuhan, maka kita harus siap untuk menunaikannya. Jabatan yang hanya digunakan sebagai pelindung, atau untuk berbangga-bangga dan menunjukkan eksistensi dirinya akan menyebabkan kesengsaraan dirinya sendiri karena Tuhan tidak akan memberikan pertolongan kepadanya, sebagaimana hadist nabi SAW berikut.
Rasulullah Saw berkata kepada Abdurrahman bin Samurah, "Wahai Abdurrahman, janganlah engkau menuntut/meminta suatu jabatan, Karena sesungguhnya jika engkau diberinya lantaran ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya. Tetapi jika engkau ditugaskan tanpa meminta maka kamu akan diberi pertolongan." (HR. Bukhari dan Muslim) (2)
Barangsiapa diserahi kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat. (HR. Ahmad) (2) 
Begitu juga menjadi seorang bawahan pegawai negeri, kemampuan & pengetahuan juga dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan kita. Tuntutan profesional sebagai pegawai negeri juga di ajarkan oleh Nabi SAW, bagaimana Allah menyukai hambanya yang ahli di bidangnya dan bekerja keras mencari nafkah demi menghidupi keluarganya. Istilah berangkat telat pulang cepat atau RMPS (Rajin/Malas, Pendapatan Sama) dalam dunia pegawai negeri seharusnya sudah tidak ada lagi. Karena jika bekerja diniatkan sebagai ibadah, tentu kekhusyu’an bekerjalah yang menjadi proses dalam keseharian kita untuk mencari rezeki yang halal buat anak istri kita.
Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla. (HR. Ahmad) (2)
Kesadaran berkeTuhanan juga diperlukan sebagai abdi negara, karena hal ini akan menjadikan pegawai yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi. Dengan kesadaran berkeTuhanan pula kita menjadi berkewajiban ikut ‘mengawasi’ diri sendiri, kolega, atau bahkan pimpinan yang melanggar hukum Tuhan sebagaimana dicontohkan para nabi-nabi terdahulu.
Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat (QS 20:92) (1)
Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta (QS 27:27) (1) 
Begitulah islam memandang pekerjaan menjadi pegawai negeri yang terdiri dari berbagai lini/bagian yang kesemua profesi itu adalah penting dan utama. Dalam bahasa lain, seorang filsuf yang bernama Plato(5) mengatakan dimanapun jalur kemisian hidup seseorang dijalankan, pada hakekatnya tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain. Baik itu sebagai seorang kepala kantor, kepala bagian, petugas struktural di bagian administrasi, keuangan, kepegawaian, keamanan, office boy, kurir, ataupun petugas fungsional seperti guru, dokter, perawat, dosen, hakim, jaksa, auditor, peneliti, dan penyuluh akan bersama-sama bekerja dalam kerangka mengabdi dan ‘memandang’ kepada Tuhan. Masing-masing bagian bekerja agar tercipta keseimbangan dalam hidup di dunia ini.
Menintegrasikan nilai kesufian dalam profesi birokrat.
Sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa hakekat kesufian mengajarkan bahwa keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang maha suci.
Memang secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaanNYA dengan tingkat kesempurnaan dan keunikannya yang prima dibanding mahkluk lainnya. Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaan kita masih belum selesai sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dan mensucikan dirinya. Melalui ketaqwaan yang dilakukannya pula diharapkan bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwa kita menuju jiwa yang tenang/nafs muthmainnah.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS 95:4) 
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridlo dan diridloiNYA, Maka masuklah kedalam golongan hambaKU, dan masuklah kedalam surgaKU. (QS 89:27-30) 
Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS 91:7-10) 
 Berdasarkan ayat tersebut, hakekat keberagamaan adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih dan ridlo Tuhan, oleh karenanya setiap orang semestinya berusaha untuk menjadi sufi, begitu juga seorang birokrat pun perlu menuju kesufian. Terkadang pandangan semacam ini memang kurang populer dan sulit diterima banyak kalangan. Namun begitu, isyarat yang tegas dalam Al-Qur’an tersebut menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya dapat termanifestasikan dalam segenap perilaku kesehariannya baik di keluarga, masyarakat, maupun kehidupan bernegara.
Apalagi jika kita melihat kondisi sekarang ini dimana banyak patologi yang menjangkiti dunia birokrasi maupun dunia modern pada umumnya seperti materalism yang cenderung membuat manusia tergerak untuk bersifat korup, manipulatif, berlomba-lomba dalam menumpuk kekayaan, serta mencekal nilai-nilai spiritual; kemudian penyakit konsumerism yang cenderung tidak mengenal kata “puas” dan selalu mencari sumber-sumber kepuasan yang baru; serta penyakit hedonism yang mendorong manusia untuk memusatkan seluruh energinya bagi pemuasan dan pelayanan hawa nafsu, yang kesemua penyakit tersebut mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh akal (otak) dan hasrat itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebersihan hati dan jiwa. Dan melalui sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan mampu mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang.
Untuk menjadi pribadi yang bisa mensucikan diri dan meningkat kualitas jiwanya menuju puncak ibadah, menurut imam Ghazali(6) perlu didahului dengan tahapan ilmu, dan bertaubat. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu tauhid agar dalam proses pensucian jiwa benar-benar didasari ilmu yang meyakinkan (‘ilmul yaqin). Proses taubat dibutuhkan untuk membersihkan diri terhadap dosa-dosa masa lalu.
Kemudian menurut Komarudin Hidayat(7), proses selanjutnya yang mesti dilalui terdiri dari 3 tahap, diantaranya adalah:
Tahap ke-1 adalah Dzikir/ta’alluq kepada Tuhan, yaitu berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Manifestasi dzikir ini cukup luas, yaitu melalui pelaksanaan syariat secara istiqomah seperti shalat, puasa, zakat, sedekah, wirid, berthoharoh (bersuci), atau bahkan bekerja dan berpikir terhadap ciptaanNYA dengan senantiasa mengharap ridlo Allah pun hakekatnya juga termasuk kedalam dzikir (mengingat Allah), karena dimana ada kebaikan disitulah ada Tuhan.
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (QS 3:191) (1) 
Kemudian tahap ke-2 adalah Sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seseorang bisa memiliki sifat mulia sebagaimana sifatNYA. Proses ini juga disebut sebagai internalisasi sifat Tuhan kedalam diri manusia dan kalangan sufi biasa menyandarkan hadits Nabi yang berbunyi,”Takhallaqu bi akhlaqi Allah”.
Sedangkan tahap ke-3 yaitu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah ‘didominasi’ sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Oleh karena itu sejatinya proses pensucian dan penyempurnaan diri perlu terus kita lakukan sampai ruh berpisah dengan jasad kita (adanya kematian)
Sebagai ‘abd u llah (budak Allah) yang saleh yang sekaligus wakilNYA didunia ini untuk memuliakan dan  membangun bumi sebagai bayangan surga melalui pekerjaan kita sebagai birokrat yang sufistik, maka tidak ada kata berhenti untuk berproses menyucikan jiwa dan berdzikir serta memikirkan ciptaanNYA meskipun kita sedang bekerja dalam rutinitas keseharian.
Seorang sufi birokrat akan tetap bisa melakukan zuhud yaitu secara lahir masih tetap bergaul bersama orang banyak baik dikantor maupun dimasyarakat, tetapi secara batin, hati nyalah yang akan berzuhud memusat kepada Tuhan (seperti istilah, ‘meski dikeramaian tapi aku masih tetap bisa merasa sepi’), sebab dengan mengingat Allah lah hati kita menjadi tenteram (alaa bidzikrillaahi tath mainnal quluub). Tetapi metode ini, menurut ulama sufi (4), akan terasa sangat sulit dijalani karena antara hati dan pikiran tidak bisa bertolak belakang.
Sufi birokrat juga tidak harus menjadi miskin dengan pakaian yang lusuh seperti yang dicontohkan tokoh-tokoh sufi sebelumnya, karena rezeki sudah ditentukan Tuhan. Oleh sebab itu yang perlu dilakukan adalah tindakan mensyukuri gaji yang rutin diberikan dengan senantiasa mengeluarkan haknya orang fakir dan anak yatim dalam harta kita.
Dan pada harta-harta mereka ada hak orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS 51:19) (1)
Seorang sufi birokrat juga boleh menjadi kaya, karena dengan kekayaan kita bisa menebarkan kebaikan bagi semua umat. Yang dilarang oleh Nabi SAW adalah cinta kepada kekayaan atau cinta kepada dunia(8), sebagaimana sabdanya, “hubbud dunya ro’su kulli khothii ah” (cinta pada dunia itu pokok/sumber sagala kejahatan). Cinta kepada dunialah yang bisa menjerumuskan kita pada tindakan korup, kikir (enggan mengeluarkan sedekah), maupun membabi buta dalam mengumpulkan harta entah itu halal maupun haram. Nabi sulaiman adalah teladan yang baik, bagaimana sebaiknya kita harus bersikap jika memperoleh kekayaan, kekuasaan, dan keilmuan yang tinggi.
Ini semata-mata dari karunia Tuhanku, untuk menguji padaku apakah aku bersyukur ataukah kufur (QS 27:40) (1)
Sufi birokrat juga akan selalu berusaha memudahkan segala urusan orang yang berurusan dengannya, agar nantinya Tuhan juga akan memudahkan jalan dan urusan kita saat di akhirat nanti.
Mungkin itulah gambaran sufi birokrat yang tidak hanya bertanggung jawab membentuk kesalehan pribadinya tetapi juga bertanggungjawab menjadi insan pengabdi dalam mewujudkan birokrasi yang bersih dan amanah demi terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera yang diridloi Allah SWT. Sufi birokrat adalah orang yang cerdas yang selalau berpikir kehidupan jangka panjang baik didunia maupun diakherat, seperti sabda Nabi SAW, “Mukmin yang cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk sesudah kematian tersebut” (HR. Ibnu Majah) (2).
Hanya kepada Alllah lah kita menyembah dan memohon pertolongan.
Wallahu alam bi showab 


Daftar Bacaan:
 (1)  DEPAG. Al-Qur’an dan Terjemahannya
 (2)  Almath, Muhammad faiz. 1100 hadits terpilih
 (3) Nasution, Harun. 1993. Tasawuf
(4) Al-Ghazali, Imam. 1981. Ihya Ulum al-Din
(5) Beoang,Konrad Kebung. 1999. Plato:Jalan menuju pengetahuan yang benar
(6) Al-Ghazali, Imam. 2006. Minhajul Abidin
(7) Hidayat, Komaruddin. 1993. Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri.
(8) Ibnu Atha'illah Al Iskandari.  Al-Hikam
 


1 komentar:

  1. Lucky 88 Slot Machines For Sale - jtmhub.com
    Lucky 88 Slot Machines 구리 출장샵 - Online Gaming at JTM Hub and 문경 출장샵 get 경산 출장안마 exclusive bonuses. Visit 이천 출장안마 us today for more details and 당진 출장안마 products.

    BalasHapus