home

Selasa, 01 November 2011

KARAKTERISTIK  ’SAGU KASBI’  SEBAGAI MAKANAN LOKAL MALUKU UTARA DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA  *)

 Chris Sugihono

 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Komplek pertanian kusu no.1 Sofifi-Kota Tidore Kepulauan;


 ABSTRAK
                                                               
Sagu kasbi merupakan makanan lokal khas Maluku Utara. Dalam rangka menunjang program swasembada pangan dan meningkatkan citra sagu kasbi maka perlu dilakukan usaha pengembangan sagu kasbi sehingga dapat diterima oleh pasar lokal dan nasional. Tujuan pengkajian ini adalah menganalisis kandungan kimia sagu kasbi, mengetahui preferensi konsumen sagu kasbi, menganalisis kelayakan finansial usaha sagu kasbi skala rumaha tangga, dan merumuskan strategi pengembangannya. Pengkajian ini dilakukan di lokasi Primatani Kelurahan Jaya, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan dan laboratorium Balai Besar Litbang Pasca Panen Bogor pada bulan Juli 2007-Februari 2008. Data yang diamati meliputi kandungan kimia sagu kasbi, preferensi konsumen seperti rasa, tekstur, dan warna, serta analisis finansial usaha pembuatan sagu kasbi skala rumah tangga. Hasil dari pengkajian menunjukkan bahwa kandungan terbesar dari sagu kasbi adalah serat kasar sebesar 2,17% dan sagu kasbi yang diberi tambahan rasa coklat lebih disukai oleh konsumen dibanding rasa lainnya. Usaha pembuatan sagu kasbi skala rumah tangga memiliki tingkat kelayakan yang moderat dengan nilai net B/C 0,34; NPV sebesar Rp. 4.429.395,- dan IRR sebesar 27%. Strategi pengembangan agroindustri sagu kasbi ke depan dapat dilakukan melalui 2 tahapan yaitu tahap 1 strategi efisiensi internal dan tahap 2 membangun jejaring kemitraan eksternal .

Kata kunci: Sagu kasbi, Maluku Utara.



PENDAHULUAN
Dalam rangka mengatasi perangkap pangan (food trap) serta menunjang program swasembada pangan, maka perlu dicari bahan pangan alternatif sebagai sumber karbohidrat non beras. Di Indonesia bahan  pangan sumber karbohidrat cukup banyak, salah satunya adalah ubi kayu.
Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl L.) merupakan sumber pangan ketiga setelah padi dan jagung. Produksi ubi kayu di Indonesia sebahagian besar dimanfaatkan sebagai bahan pangan (64%). Tetapi kelemahan ubi kayu sebagai bahan pangan adalah mudah rusak karena kandungan air yang tinggi (40-70%), harga relatif murah,  dan bentuk produk olahan ubi kayu masih terbatas. Menurut Marudut dan Sundari (2000), kandungan nutrisi ubi kayu tidak kalah dengan sumber pangan lainnya lainnya. Ubi kayu mengandung energi 359 kkal, protein sebesar 2,9 %, lemak sebesar 0,7 %, dan karbohidrat sebesar 84,9 %.
Pada umumnya  petani mengolah ubikayu menjadi tepung yang selanjutnya di olah menjadi berbagai produk olahan tradisional. Guna meningkatkan daya guna dan mutu produk olahan ubi kayu, perlu adanya usaha pengolahan secara baik dan peningkatan nilai gizi produk olahannya untuk penganekaragaman pangan (Suismono dkk, 2006).
Usaha penganekaragaman pangan sangat penting artinya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah ubi kayu menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas dan daya simpan yang lama. Salah satu bentuk olahan ubi kayu di Maluku Utara adalah sagu kasbi  atau model sagu lempeng yang berasal dari ubi kayu.
Sagu kasbi merupakan makanan khas Maluku Utara yang dikenal memiliki  satu rasa (tawar) , teksturnya keras, berwarna warna putih agak kekuningan, bentuk dan ukurannya besar persegi panjang . Usaha produksi sagu kasbi di tingkat petani selama ini masih terkendala kesan inferior dalam mengkonsumsi pangan non beras sebagai makanan pokok. Padahal pengalaman menunjukkan bahwa banyak keuntungan yang dialami masyarakat yang mengkonsumsi sagu kasbi, selain memberi efek mengenyangkan dan bisa juga diperkaya gizinya dengan mengkombinasikan dengan sumberdaya pangan lokal yang berlimpah seperti ikan laut dan sayur-sayuran. Usaha produksi sagu kasbi ini masih dilakukan secara tradisional sehingga mutunya masih rendah, subsisten dan pemasarannya masih lokal. Karena memang segmentasi produksi sagu kasbi khusus untuk pengganti beras. Meskipun demikian masih ada peluang untuk melakukan perbaikan teknologi sehingga sagu kasbi dapat diterima oleh konsumen sesuai dengan seleranya. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan kimia utama sagu kasbi, mengetahui preferensi konsumen terhadap pengembangan produk sagu kasbi, melakukan analisis ekonomi usaha pengolahan sagu kasbi, dan merumuskan strategi pengembangan agroindustri sagu kasbi.


METODE PENGKAJIAN

Waktu dan Tempat
Kajian ini dilakukan di dilakukan di lokasi Primatani Kelurahan Jaya, Kecamatan Tidore Utara, Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara dan lab. Balai Besar Litbang Pasca Panen Bogor pada bulan September 2007 – Juli 2008.

Metode
Metode pengkajian yang digunakan adalah survey dan eksperimental di laboratorium. Metode survey digunakan untuk mengumpulkan data teknik pembuatan sagu kasbi eksisting, preferensi konsumen, dan data analisis finansial yang meliputi biaya investasi, biaya tetap, dan biaya tidak tetap, dengan asumsi bunga bank sebesar 22 % dan umur ekonomis proyek selama 5 tahun. Sedangkan eksperimental di lab untuk mengetahui komposisi kimia sagu kasbi.
Komponen kimia utama (air, abu, lemak dan serat kasar) dianalisis menurut metoda yang ditetapkan oleh Associaton of Official Analytical Chemist (AOAC). Warna diukur dengan alat Chromameter (Minolta, CR-300). Contoh diletakkan di atas wadah yang tersedia kemudian dicatat nilai L (lightness), a* (warna hue) dan b* (saturation). Makin positif nilai a maka warna contoh makin menuju ke warna merah, sebaliknya makin negatif nilai a maka warna contoh makin menuju ke warna hijau. Makin positif nilai b maka warna makin menuju ke warna kuning dan makin negatif makin menuju ke warna biru. Alat dikalibrasi dengan lempeng keramik yang disediakan dengan nilai L, a* dan b* berturut-turut 100, 0 dan 0.
          Uji organoleptik pada sagu kasbi dilakukan dengan cara skoring. Atribut mutu yang dievaluasi pada sagu kasbi meliputi warna, tekstur, aroma, dan rasa. Tingkat kesukaan diukur dari skala 1 untuk paling tidak suka dari kontrol, 3 adalah tidak suka, 5 adalah kontrol, 7 adalah suka, dan skala 9 untuk paling suka dari kontrol (Soekarto, 2000). Analisis signifikansi organoleptik dapat menggunakan uji Friedman (Uyanto, 2006). Sedangkan analisis finansial, dapat dihitung dengan parameter net benefit cost ratio (B/C), Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR) .


HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknik pembuatan sagu kasbi eksisting
Ubi kayu varietas lokal Tidore dipanen pada umur 1-1,5 tahun supaya kandungan serat kasarnya lebih tinggi. Ubi segar dibersihkan dari tanah dan kotoran dalam keadaan belum dikupas. Cara pengupasan ubi kayu yang terbaik yaitu dengan cara melepaskan bagian kulit secara manual satu per satu, lendir yang ada pada lapisan ubi kayu dihilangkan. Perlakuan ini dilakukan untuk mengurangi kadar asam asam sianida (HCN). Ubi kayu yang telah dikupas kemudian dicuci dengan air mengalir kemudian direndam untuk menghindari proses browning. Selanjutnya ubi kayu  di parut dengan mengunakan mesin parut yang sudah dibersihkan terlebih dahulu sehingga parutan  ubi kayu yang dihasilkan putih.
Proses selanjutnya adalah pengepresan yang bertujuan untuk memisahkan serat dan pati ubi kayu. Setelah dipastikan serat/ampas ubi kayu sudah kering kemudian dilakukan proses penggilingan serat/ampas ubi kayu dengan dengan menggunakan mesin penepung beras (hammer mill). Tepung yang dihasilkan dinamakan tepung sagu kasbi. Kemudian proses selanjutnya adalah pengayakan  agar butiran yang masih kasar dapat digiling ulang dengan mengunakan lesung agar menghasilkan tepung yang lebih halus dengan kehalusan 80 mesh, seragam, dan bersih.
Setelah tepung sagu kasbi telah siap, maka proses berikutnya adalah dilakukan pemanasan/pemanggangan cetakan sagu kasbi atau dalam bahasa lokal disebut forna selama 30 menit diatas tungku api, kemudian forna dibersihkan dengan jerako. Proses selanjutnya tepung sagu kasbi dimasukkan dalam cetakan/ forna kemudian dipanggang sampai sagu kasbi menjadi kering. Pada umumya alat panggang yang digunakan pembuat sagu  sangat sederhana yaitu dikeringkan diatas tungku pengering yang terbuat dari selapis seng, kemudian ‘Sagu kasbi’ dikeringkan diataskan seng tersebut selama 20 menit (Lihat gambar 1). Pada umumnya sagu kasbi yang dijual   di Maluku Utara tidak dikemas hanya diikat dengan tali.
                                                                           


Gambar 1.  Proses pembuatan sagu kasbi.

Karakteristik kimia sagu kasbi
          Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa sagu kasbi memiliki kadar protein yang sangat rendah yaitu rata-rata 1,43 %. Hal ini disebabkan karena dalam sagu kasbi bahan utamanya adalah ubi kayu yang memiliki kandungan protein yang rendah. Begitu juga dengan kadar lemak. Oleh karena itu masyarakat Maluku Utara menjadikan sagu kasbi sebagai makanan utama pengganti beras yang dikombinasikan dengan ikan dan sayur-sayuran sebagai sumber protein dan juga lemak. 
          Sedangkan serat kasar yang ada sebesar 2,17 %. Komponen serat sagu kasbi diduga termasuk resistant starch. Seperti halnya serat sagu (metroxylon sp) yang merupakan serat tidak tercerna oleh enzim-enzim pencernaan di dalam usus kecil manusia sehat (Widaningrum dkk, 2005). Menurut Marsono (1998), Resistant starch memiliki fungsi fisiologis seperti halnya serat makanan, antara lain mampu mengikat asam empedu, meningkatkan volume feses serta mempersingkat waktu transit. Selain itu, melalui proses pengpresan menyebabkan hampir seluruh pati terekstraksi sehingga ampas yang tertinggal mengandung kalori yang rendah. Hal inilah yang menyebabkan kadar gula maupun indeks glikemiknya diramalkan sangat rendah. Dengan kadar gula yang rendah dan memiliki efek mengenyangkan, maka sagu kasbi cocok untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes maupun orang yang sedang diet. Jadi sagu kasbi juga layak dijadikan pangan fungsional   


Tabel 1. Karakteristik kimia sagu kasbi
Karakteristik
Kimia
Hasil
Rerata
 Ul. I
Ul. II
Ul. III
Protein (%)
1,61
1,01
1,41
1,43
Lemak (%)
0,52
0,40
0,52
0,48
Serat kasar (%)
2,24
2,21
2,06
2,17
Kadar Abu (%)
1,43
1,43
1,37
1,41
Kadar Air (%)
11,97
11,83
11,81
11,87
Keterangan: Ul I: Ulangan 1, Ul II: Ulangan 2, dan Ul III: Ulangan 3

Dari penampakan warnanya, sagu kasbi memiliki warna yang lebih cerah dengan nilai L yang mendekati 100, selain itu dengan nilai a negatif dan b positif berarti merupakan kombinasi kuning cerah. Kenampakan ini menyebabkan sagu kasbi mirip dengan roti tawar yang berasal dari terigu.

Tabel 2. Karakteristik warna sagu kasbi
Karakteristik
Warna
Hasil
Rerata
 Ul. I
Ul. II
Ul. III
L
80,50
85,66
81,60
82,59
a
-1,44
-1,42
-1,36
-1,41
b
16,6
16,01
16,10
16,24
Keterangan: Ul I: Ulangan 1, Ul II: Ulangan 2, dan Ul III: Ulangan 3
L: lightness, a: Hue, b: Saturation

Preferensi konsumen terhadap sagu kasbi
Analisis preferensi konsumen dilakukan untuk mengetahui keinginan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk sagu kasbi yang telah ditingkatkan mutu dan rasanya. Hasil uji organoleptik sagu kasbi beraneka rasa dari 30 orang panelis menunjukkan bahwa bahwa sagu kasbi yang disukai dan dapat diterima oleh konsumen adalah yang diberi tambahan rasa (perisa). Karena teknik pengujian yang dilakukan adalah uji produk langsung. Penggunaan sagu kasbi tanpa tambahan rasa memang dikhususkan untuk dikonsumsi dengan tambahan pangan lain seperti untuk makan pagi dikonsumsi dengan teh/kopi sedangkan untuk makan siang dan malam dikonsumsi bersama-sama dengan sayur dan lauk ikan laut. Sedangkan sagu kasbi dengan tambahan rasa dikhususkan sebagai makanan ringan sehingga bentuknya juga perlu dirubah menjadi bentuk stick.
Berdasarkan uji friedman dapat diketahui bahwa pemberian tambahan rasa seperti coklat, strawberry, mangga, dan jeruk memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas warna, aroma, tekstur, dan rasa. Dari aspek warna, panelis lebih menyukai sagu kasbi dengan rasa coklat. Begitu juga dari aspek tekstur, panelis juga menyukai rasa coklat, hal ini dikarenakan bahan tambahan rasa yang digunakan berasal dari bubuk buah coklat sehingga lebih renyah. Sedangkan rasa lainnya berasal dari perisa yang memiliki sifat higroskopis sehingga teksturnya agak keras. Dari aspek aroma, rasa coklat dan rasa jeruk lebih disukai daripada rasa lainnya. Sedangkan dari segi rasa, coklat lebih disukai panelis dibanding rasa lainnya. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut.



Tabel. 3. Rata-rata tingkat kesukaan konsumen terhadap perlakuan
Karakteristik
Rasa Tawar
Rasa Coklat
Rasa Strawberry
Rasa Mangga
Rasa Jeruk
Warna *
5,6
7,6
7,1
7,4
7,2
Tekstur *
2,9
8,2
6,7
6,8
6,7
Aroma *
4,7
7,7
7,5
7,3
7,7
Rasa *
3,9
8,2
7,3
7,3
7,0
Keterangan:   *:  menunjukkan pemberian tambahan rasa berpengaruh nyata terhadap warna, tekstur, aroma, dan rasa (P<0,05)
1 untuk sangat tidak suka, 3 adalah tidak suka, 5 adalah netral, 7 adalah suka, dan skala 9 untuk sangat suka

Status sosial sagu kasbi bagi masyarakat Maluku Utara.
Kasbi dalam bahasa lokal berarti ubi kayu, sedangkan sagu kasbi adalah ubi kayu yang diolah menyerupai sagu lempeng sebagai makanan pokok dibeberapa daerah di Kota Tidore Kepulauan dan Maluku Utara pada umumnya. Ubi kayu di daerah ini tidak dijual secara gelondongan/mentah tetapi diolah dulu dalam bentuk sagu. ‘Sagu kasbi’  yang diolah dari bahan baku ubi kayu.  ‘Sagu kasbi’ dibuat dengan cara mencetak tepung kasbi dalam cetakan berbentuk persegi, kemudian memanggangnya dalam forna/cetakan sagu.
Ketersediaan lahan yang mayoritas lahan kering, menyebabkan Maluku Utara merupakan daerah yang rawan pangan jika hanya menggantungkan pangan pokok pada beras. Tetapi dengan adanya sagu kasbi, Tidore Kepulauan dikategorikan daerah yang bisa swasembada pangan. Karena sagu kasbi sangat cocok sebagai bahan pangan di musim paceklik karena memiliki daya tahan yang lama yang lama, yaitu 1-2 tahun, apabila disimpan dalam kondisi yang baik dan kering. Pada umunya masyarakat Maluku Utara biasanya mengkonsumsi sagu kasbi’ sebagai pengganti nasi  dengan cara dicelupkan ke dalam kuah sayur dari makanan hingga lembek lalu dikonsumsi bersama lauk pauk ikan dan sayur. Selain itu ‘Sagu kasbi’ juga di konsumsi pada saat sarapan pagi dengan dicelupkan dalam minuman teh dan kopi.
Kesan inferior dalam mengkonsumsi sagu kasbi di Kota Tidore Kepulauan belum ada, bahkan dengan penganekaragaman pangan mampu menunjang ekonomi keluarga. Pemerintah harusnya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada daerah yang tidak tergantung pada produksi padi atau beras. Bukan malah sebaliknya daerah yang mengkonsumsi pangan non beras dikategorikan daerah yang rawan pangan. Karena masyarakat Maluku Utara sejak jaman dahulu sudah terbiasa mengkonsumsi sagu, tetapi berhubung populasi sagu semakin lama semakin menyusut maka pengembangan pangan yang menyerupai sagu lempeng patut diberikan apresiasi.

Analisis finansial usaha pengolahan sagu kasbi skala rumah tangga   
Dari hasil analisis ekonomi usaha pengolahan sagu kasbi di Kota Tidore Kepulauan, dapat diketahui bahwa usaha ini layak untuk diusahakan. Biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 6.655.000,-. Nilai net B/C sebesar 0,34.  Dengan nilai tersebut dapat diketahui bahwa usaha sagu kasbi layak untuk diusahakan (lebih dari 0). Nilai return of investment (ROI) sebesar 34,07 % artinya dengan biaya seratus rupiah akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 34,07,- . Selain itu dari indikator NPV maupun IRR juga menunjukkan pengolahan sagu kasbi layak diusahakan dengan nilai NPV Rp 4.429.395,- dan IRR sebesar 27 % di atas bunga bank 22 %. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Indikator kelayakan ekonomi
Indikator
Nilai
Biaya investasi
Rp 6.655.000,-
Biaya tetap
Rp 1.032.750,-
Biaya tidak tetap
Rp 2.100.000,-
Penerimaan bersih
Rp 1.067.250,-
Net B/C
0,34
BEP (Buah/bulan)
4475,36
ROI (%)
NPV
IRR (%)
34,07
Rp. 4.429.395,-
27 %

            Analisis kepekaan/sensitivitas menunjukkan sejauh mana perubahan unsur-unsur ekonomi berpengaruh terhadap kelayakan usaha. Pada usaha sagu kasbi ini sensitivitas dihitung dengan asumsi ada penurunan volume penjualan sebesar 5 %  tanpa mengalami kenaikan harga. Selain itu juga ada asumsi kenaikan harga bahan baku sebesar 10 % yang biasa terjadi pada saat panen sangat kurang atau pada saat hari-hari besar keagaamaan. Dari hasil perhitungan nilai kepekaan dapat diketahui bahwa usaha pengolahan sagu kasbi sangat rentan / sensitif terhadap perubahan harga bahan baku maupun penurunan volume penjualan. Jika terjadi perubahan tersebut, pelaku usaha pengolahan sagu kasbi akan merugi. Hasil selengkapnya pada tabel 5.

Tabel 5. Analisis sensitivitas terhadap usaha pembuatan sagu kasbi
Indikator
Net B/C
NPV
IRR
Volume penjualan turun 5 %
0,27
- 721.401
- 5 %
Harga bahan baku naik 10 %
0,28
- 1.871.035
-13 %


Strategi pengembangan agroindustri sagu kasbi
Pengembangan agroindustri merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keunggulan kompetitif komoditas pertanian. Pengembangan agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok/lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek. Hal ini karena agroindustri, yang memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat memiliki multiplier effects tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Santoso, 2005).
Beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan dalam mengembangkan agroindustri sagu kasbi adalah melalui strategi berjenjang tahap 1 dan tahap 2. Pada tahap 1 yang perlu dilakukan adalah (1) meningkatkan kualitas dan variasi produk melalui diversifikasi rasa, bentuk, tekstur, warna, aroma, dan desain kemasan. Hal ini menjadi tugas BPTP dan perguruan tinggi lokal untuk membantu mancari peluang dan asistensi teknologi. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, penambahan rasa coklat ternyata lebih disukai oleh konsumen. (2) Membangun jejaring captive market melalui kemitraan dengan outlet maupun retail dan swalayan yang ada di Ternate maupun luar Ternate. (3) Meningkatkan jumlah klaster produksi sehingga kapasitas produksi bisa ditingkatkan tetapi harus melalui pelatihan dan pendampingan intensif sehingga tidak mengurangi kualitas produk. (4) Meningkatkan efisiensi melalui penurunan biaya pemasaran karena lokasi produksi yang berada di Kota Tidore Kepulauan sementara pasar lebih banyak di Kota Ternate sehingga perlu strategi khusus untuk mengurangi biaya distribusi. (5) Meningkatkan efisiensi melalui penurunan biaya produksi, yang hal ini bisa ditempuh dengan melakukan pembelian bahan baku produksi secara kolektif (buying coalition).
Pada tahap 2 yang bisa dilakukan adalah (1) meningkatkan efisiensi produksi petani ubi kayu dengan menurunkan biaya pengangkutan, meningkatkan mutu bahan baku dan pengawasan budidaya. (2) Membangun akses ke lembaga keuangan seperti perbankan/keuangan mikro dan lembaga sertifikasi mutu sebagai quality assurance. (3) Mengembangkan jejaring pasar lintas wilayah sebagai tahap akhir pengembangan. Berikut adalah pola pengembangan usaha agroindustri sagu kasbi di Maluku Utara.


gambar 2. Pola pengembangan produk sagu kasbi di Maluku Utara

  
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa kandungan sagu kasbi yang paling dominan adalah serat kesar sebesar 2,17 % dan juga sedikit protein sebesar 1,43 %, selain itu sagu kasbi dengan rasa coklat memiliki tingkat preferensi konsumen yang tinggi dibandingkan rasa lainnya, dan home industry pengolahan sagu kasbi layak untuk diusa
hakan dengan nilai net B/C sebesar 0,34 kemudian NPV sebesar Rp 4.429.395, dan IRR sebesar 27 %.  Strategi pengembangan agroindustri sagu kasbi kedepan dibutuhkan dua tahap, yaitu tahap 1 melalui membangun captive market, meningkatkan kualitas dan mutu produk, efisiensi pemasaran dan produksi. Sedangkan tahap 2 melalui efisiensi budidaya (on farm), membangun jejaring kemitraan eksternal dengan perbankan dan balai POM, serta jejaring kemitraan dengan pasar luar wilayah.


DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984. Official Methods of analysis. Association of Official Analytical Chemist. Arlington Virginia Marudut dan T. Sundari. 2000. Tepung-tepungan sumber kreativitas tata boga. Seminar Nasional Interaktif: Penganekaragaman makanan untuk memanfaatkan tersedianya pangan. Jakarta, 17 0ktober 2000.
Gittinger. J. Price. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Komet Mangiri dan Slamet Sutono (Penerjemah). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta
Marsono, Y. 1998. Perubahan Resistant Starch (RS) dan Komposisi Kimia Beberapa Bahan Pangan Kaya Karbohidrat Dalam Pengolahan. Agritech 19 (3): 124- 127.
Santoso, I. 2005. Peluang  Bisnis, Kendala Dan Strategi Pengembangan  Industri  Pangan. Disajikan dalam  Seminar  Nasional bertema “ Peluang Bisnis di Sektor Industri Pangan” Pada tanggal 15 Maret 2006 di Fakultas Teknologi Industri, UPN Veteran Jawa Timur.
Soekartawi. 1987. Dasar-Dasar Evaluasi Proyek dan Petunjujk Praktis Dalam Membuat Evaluasi. PT Bina Ilmu. Surabaya
Soekarto ST dan Hubeis M. 2000. Metodologi Penelitian Organoleptik. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Suismono, Nur Richana dan suryanti.  2006. Pedoman Teknis Pengolahan dan Pemanfaatan KasavaBalai Besar Penelitian dan pengembangan Pascapanen Pertanian.  Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor
Uyanto, S. 2006. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu. Yogyakarta
Widaningrum, B.A. Santosa. Endang Yuli Purwani. 2005. Penelitian Pengaruh Suhu Pemeraman Terhadap Kualitas Mi Sagu dan Kadar Resistant Starch (RS). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pasca Panen Untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Bogor, 7-8 September 2005. Balai Besar Pengembangan Litbang Pasca Panen

*) Diterbitkan di Buletin Pengkajian Teknologi BPTP Malut 2011

1 komentar:

  1. bagus tulisannya klu bole di lampirkan juga foto untuk dokumentasi

    BalasHapus