home

Kamis, 10 November 2011

Pentingnya Intelijen Pertanian

Pangan sejatinya merupakan kebutuhan esensial dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Manusia tidak bisa terlepas dari makanan meskipun hanya sehari baik itu berupa beras, sayur, buah, daging, maupun produk turunannya. Oleh karena itu persoalan  pangan merupakan masalah krusial yang mesti dihadapi semua negara. Sebagai pemasok utama bahan pangan, kinerja sektor pertanian nasional tahun 2010 memang tumbuh sekitar 2,6% tetapi masih dibawah dari pertumbuhan PDB nasional yang sebesar 6,2%. Gangguan utama yang mempengaruhi kinerja pertanian tersebut lebih banyak disebabkan faktor abiotik (seperti iklim maupun kesuburan tanah), biotik (hama dan penyakit), ketersediaan saprodi, perkreditan pertanian, maupun neraca perdagangan.
Selama ini langkah dan tindakan yang sering ditempuh terhadap gangguan tersebut lebih bersifat resque atau mirip seperti ‘pemadam kebakaran’. Mulai dari perubahan ikllim, ledakan serangan hama, trend perdagangan produk pertanian global, maupun indikasi skenario perangkap pangan (food trap) dari negara-negara maju. Lumpuhnya pertanian akan dapat menyebabkan lumpuhnya kedaulatan pangan yang dampaknya bisa mengarah pada instabilitas baik politik maupun keamanan bangsa. Belum terkelolanya informasi dini yang akurat terhadap kemungkinan gangguan tersebut menjadi penyebab langkah antisipatif belum bisa terumuskan secara operasional dilapangan. Oleh karena itu, peran intelijen pertanian dalam mengumpulkan dan mengolah informasi yang akurat tidak kalah pentingnya. Tetapi perlu adanya reorientasi model intelijen di sektor pertanian yang dulu pernah dilakukan pada jaman orde baru.


Antisipasi ancaman krisis pangan
Untuk mengerakkan intelijen pertanian, tentunya perlu diidentifikasi potensi ancaman terhadap pertanian kedepan. Ancaman pertama adalah indikasi perubahan iklim. Pola curah hujan yang kurang bisa terprediksi menyebabkan rawannya kegagalan panen dibeberapa daerah. Pada tahun 2009 diramalkan terjadi El-Nino. Bahkan fenomena El-Nino atau sering disebut juga ENSO (El-Nino Southern Oscillation) sebagai penyebab kekeringan pada waktu itu membuat Presiden SBY harus menyampaikan langsung secara melalui teleconference  kepada seluruh Gubernur, Bupati, Walikota dan unsur Muspida lainnya tentang pentingnya kewaspadaan dan langkah langkah yang harus diambil oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten serta Kota menghadapi fenomena global ini. Tetapi pada 2010 fenomena iklim kembali berubah dan cenderung kepada La-Nina dengan tingkat curah hujan tinggi sepanjang tahun. Dampaknya pun cukup luas baik adanya banjir dilahan sawah maupun dampak munculnya serangan hama. Fenomena inilah yang seharusnya bisa diantisipasi jika teknologi yang kita miliki dapat memprediksinya.

Kemudian ancaman berikutnya adalah meluasnya serangan hama seperti wereng batang coklat (WBC) yang menyerang padi maupun ulat bulu yang menghebohkan dibeberapa wilayah. Fenomena ini memang terkait erat dengan iklim. Tentu hal ini bukanlah merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Disinilah peran intelijen pertanian dibutuhkan. Kemampuan dalam mengidentifikasi potensi serangan hama sehingga bisa diolah menjadi informasi yang akurat harusnya bisa mencegah meluasnya serangan hama tersebut. Saat ini kementrian pertanian memang memiliki petugas pengamat organisme pengganggu tanaman (POPT), tetapi sifat kerja dari petugas ini cenderung dalam tindakan resque / menyelamatkan, bukan tindakan antisipatif sebagaimana peran dan fungsi intelijen negara.

Ancaman lainnya adalah politik pasar. Intelijen pasar pertanian sangat dibutuhkan untuk melihat skenario negara lain yang membuat negara kita terjebak dalam perangkap pangan (food trap). Memang dalam era pasar terbuka ini negara tidak mungkin lepas dari kegiatan perdagangan sehingga impor tetap dibutuhkan, tetapi yang perlu diantisipasi adalah ketergantungan yang berlebihan agar ketika terjadi gejolak harga pasar dunia, negara masih bisa mencukupi kebutuhannya.  Beberapa komoditas strategis masih tergantung dari impor, seperti kedelai sekitar 70% impor, kemudian gandum hampir 100% tergantung dari impor, gula sebesar 37,48%, jagung 11,23 %, garam 50%, kacang tanah 15%, dan daging sapi sekitar 23%. Hal ini cukup mengkhawatirkan jika tidak ada terobosan yang ekstrem untuk mengurangi rantai impor tersebut. Isu non tarief bariers menjadi senjata andalan negara maju untuk meningkatkan efisiensi produksi. Ada indikasi bahwa negara-negara maju melakukan politik dumping melalui subsidi pertanian sehingga komoditas yang dihasilkan dapat memenangi persaingan pasar dunia. Dampakny adalah usahatani yang tidak kompetitif akan semakin marginal dan kesulitan menembus pasar. Bahkan sekedar hanya memenuhi pasar lokal pun masih sulit bersaing. Keberadaan perusahaan multinasional yang menguasai seluruh lini proses produksi pangan, mulai dari perusahaan benih/bibit ternak, pupuk, pestisida sampai disisi hilir dengan industri pengolahan dan pemasarannya akan semakin menyulitkan pergerakan petani dan pelaku usaha lokal. Disinilah kita membutuhkan intelijen yang handal sehingga negara pun juga dapat mengambil langkah-langkah strategis keluar dari perangkap pangan negara maju.

Ancaman terakhir adalah politik mutu produk. Pengamat pertanian kita agak lemah dalam menganalisis arah dan target negara-negara maju dalam merumuskan standar mutu produk pertanian. Dampaknya adalah banyaknya produk pangan kita yang tidak dapat terserap pasar dunia hanya gara-gara tidak memenuhi standar. Isu produk organik maupun keamanan pangan pasca revolusi hijau menunjukkan betapa lemahnya analis pertanian kita. Pola pertanian yang kita kembangkan dalam rangka mengikuti trend revolusi hijau melalui banyaknya pemakaian pestisida maupun pupuk anorganik, cenderung tidak sesuai dengan ketentuan pasar. Apalagi perubahan pola usahatani dari intensif kearah pengelolaan terpadu masih membutuhkan waktu. Seperti teknik pengendalian hama penyakit terpadu cenderung lambat diadopsi petani karena petani sudah terbiasa secara instan dan cepat mengendalikan hama penyakit dengan obat kimia/pestisida. Begitu juga penggunaan pupuk organik maupun hayati juga belum sepenuhnya mudah diterima petani, karena terbiasa dengan kemudahan dalam penggunaan pupuk anorganik. Isu-isu seperti ini akan terus berkembang seiring dengan kepentingan negara-negara maju. Oleh karena itu, informasi-informasi strategis mengenai pertanian global sudah saatnya dibutuhkan oleh pemerintah. 


Agenda kedepan
Mengingat peran pentingnya intelijen pertanian, maka sudah selayaknya pemerintah mulai merumuskan dan merevitalisasi kembali lembaga yang berkaitan dengan informasi pertanian. Mulai dari lembaga peramalan OPT tanaman, lembaga peramalan iklim pertanian, maupun lembaga yang berperan dalam market inteligent. Integrasi peran kelembagaan tersebut menjadi satu bisa memudahkan langkah pemerintah terutama kementerian pertanian dalam membuat kebijakan antisipatif. Kemudian dukungan penganggaran untuk meningkatkan kapasitas SDM mutlak dibutuhkan. Kemampuan intelijen pertanian tidak hanya bersifat teknis seperti memprediksi outbreak hama&penyakit maupun menangkap sinyal perubahan iklim jauh kedepan seperti pada jaman Nabi Yusuf yang dengan ‘pengetahuan’nya mampu memprediksi 14 tahun kedepan terjadi fenomena la nina dan el nino berturut-turut, tetapi perlu juga dibekali kemampuan politik pertanian maupun hukum.
Kemudian aspek politis berupa kemampuan dalam mengestimasi arah dan pergerakan politik pangan global, baik yang menyangkut perdagangan, standardisasi mutu produk, kredit pertanian, trend teknologi pertanian, varietas, pupuk maupun pestisida dan kemampuan sisi yuridis seperti advokasi peraturan-peraturan pertanian tingkat global dan membaca tanda-tanda dibalik dikeluarkannya aturan-aturan tertentu menyangkut pertanian dan pangan. Adanya intelijen pertanian ini bukan solusi utama tetapi lebih kepada mendukung pemberian informasi yang akurat untuk membantu kementerian pertanian maupun negara dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar