home

Senin, 08 Agustus 2011

MENGATASI PERANGKAP PANGAN KEDELAI

Kedelai merupakan komoditas pangan strategis di Indonesia setelah padi dan jagung. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat. Dalam keseharian tentu kita seringkali berinteraksi dengan produk olahan kedelai seperti kecap, tahu, tempe, taoge, maupun susu kedelai, karena disamping harganya murah juga karena nilai gizinya yang tinggi. Bahkan menurut data BPS, sekitar 24% dan 19% masyarakat kita mengkonsumsi tempe dan tahu setiap hari. Hal inilah yang menyebabkan kebutuhan kedelai terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk. Permasalahannya adalah permintaan kedelai tidak bisa dipenuhi oleh produksi dalam negeri, hampir 70% harus di impor dari negara produsen kedelai dunia seperti Amerika, Brazil maupun China. Bahkan laporan USDA tahun 2010, nilai ekspor kedelai AS ke Indonesia mencapai angka tertinggi selama 6 tahun terakhir yaitu $805 juta.
Meskipun dalam liberalisasi perdagangan, kepentingan impor masih diperlukan tetapi untuk menjaga fluktuasi harga kedelai di pasar dunia akhir-akhir ini maka mengurangi ketergantungan adalah langkah konkret yang harus dilakukan. Tahun 2010 produksi kedelai yang ditargetkan dalam renstra kementrian pertanian sebesar 1,3 juta ton tetapi hanya terealisasi 69,6% yaitu sebesar 905 ribu ton, bahkan turun sebesar 7,13% dibanding tahun 2009. Penurunan ini lebih banyak disebabkan turunnya luas panen sebesar 6,99%. Hal ini mengindikasikan tidak adanya insentif keuntungan yang menarik bagi petani untuk berusahatani kedelai. Apalagi kondisi iklim yang kurang mendukung dan banyaknya hama dan penyakit yang menyerang tanaman kedelai.

Masalah dan Kendala
Kompleksitas masalah kedelai nasional sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab kementerian pertanian tetapi juga stakeholder lainnya seperti kementrian perdagangan, BUMN, maupun Bulog. Pemberlakuan bea masuk 0% (non barier tarief) dalam importasi kedelai menjadikan banyak pedagang besar yang diuntungkan apalagi tidak adanya monopoli impor oleh Bulog semakin menjadikan margin bruto yang diperoleh pedagang relatif lebih besar. Pada kondisi harga pasar dunia yang rendah dan keteraturan pasokan, memang disatu sisi akan menguntungkan industri pengolahan kedelai seperti pengrajin tahu tempe, kecap, maupun susu kedelai tetapi disisi lain tentu tidak menguntungkan usahatani kedelai didalam negeri.

Ditambah lagi masalah teknis usahatani kedelai yang masih belum memiliki keunggulan komparatif. Dengan tingkat produktivitas rata-rata nasional yang hanya mencapai 1,34 ton/ha tentu menambah derita petani kedelai. Banyak faktor yang mempengaruhi aspek teknis produksi seperti rendahnya penggunaan benih bermutu dari varietas unggul, pengelolaan tanaman, kesuburan tanah, pemupukan, maupun pengendalian hama penyakit. Sebenarnya tidak sulit untuk meningkatkan produktivitas > 2 ton/ha apalagi dukungan teknologi produksi dari Badan Litbang Pertanian sudah banyak dihasilkan, tetapi jika iklim usaha maupun perkreditan tidak mendukung, tentu petani juga akan enggan mengusahakan kedelai.

Masalah lainnya adalah kompleksitas mekanisme pasar. Harga jual kedelai yang ditentukan oleh pasar menyulitkan petani untuk melakukan intervensi. Apalagi organisasi petani kedelai di Indonesia sangat lemah. Berbeda dengan negara Amerika yang memiliki American Soybean Association sebagai wadah meningkatkan posisi tawar petani kedelai baik dimata pemerintah maupun ditingkat pasar. Bahkan kekuatan lobi politiknya, mereka mampu melakukan berbagai langkah-langkah strategis dinegara sasaran impor seperti Indonesia melalui pembinaan pengrajin tempe dan tahu agar tercipta kemitraan yang terpadu layaknya kemitraan negara eksportir gandum, industri tepung terigu, dan UKM berbasis terigu. Perangkap inilah yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama agar ketergantungan berlebihan yang bisa menyebabkan dampak instabilitas dalam negeri tidak terjadi. Konsistensi kebijakan sangat jelas dibutuhkan agar memberikan sinyal insentif bagi pelaku usaha kedelai.


Langkah strategis kedepan
Langkah pertama yang mesti dilakukan adalah membuat kedelai menjadi komoditas yang menguntungkan bagi petani. Kecilnya margin keuntungan membuat petani enggan melirik kedelai, apalagi swasta. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengupayakan terobosan baru agar usahatani kedelai bisa mencapai tingkat keuntungan yang optimal. Adanya insentif harga jual bisa menjadi jalan keluar agar petani lebih tertarik mengusahakan kedelai dibanding komoditas palawija lainnya. Pemerintah tidak perlu gentar untuk melindungi petani karena dinegara lainpun, pemerintahnya juga melindungi petani maupun produk pertaniannya. Negara Brazil mampu swasembada kedelai juga karena didukung kebijakan pemerintahnya dalam menciptakan pasar yang baik. Apalagi didukung dengan peningkatan produktivitas minimal 2 ton/ha akan dapat meningkatkan keunggulan komparatif kedelai.

Langkah kedua adalah membuat kreasi efisiensi produksi dengan menggunakan inovasi. Sudah banyak varietas unggul kedelai yang dilepas oleh Badan Litbang Pertanian yang sebenarnya tidak kalah kualitasnya dengan kedelai impor seperti ukuran biji yang besar, warna kuning, potensi hasil > 2 ton/ha, umur panen lebih cepat maupun keunggulan lainnya. Bahkan untuk pembuatan produk pangan, kedelai varietas nasional mampu menghasilkan mutu produk tempe, tahu, susu kedelai dan kecap yang sama dengan kedelai impor. Tinggal upaya selanjutnya adalah membangun sistem perbenihan kedelai agar ketersediaan varietas yang dimaksud terjaga sepanjang musim tanam. Oleh karena itu dibutuhkan good will dari pemerintah apakah mau menggunakan kreasi varietas unggul nasional yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti yang ada di negeri ini, ataukah lebih enak mengandalkan kedelai impor dengan harga murah dan mutu yang baik.

Langkah ketiga adalah advokasi untuk meningkatkan partisipasi petani agar bersedia melakukan perluasan areal tanam. Partisipasi petani sangat dibutuhkan untuk menjamin keberlanjutan produksi kedelai. Indikasi fluktuasi produksi lebih banyak disebabkan naik turunnya luas panen, tentunya hal ini sangat bergantung dari keputusan petani untuk berusaha tani kedelai. Potensi pasar yang tinggi dan didukung iklim usaha yang sehat tentunya akan mendorong petani semakin giat dalam menanam kedelai. Tinggal bagaimana pemerintah melalui kementrian perdagangan, bulog maupun penyuluh dilapangan bisa memotivasi dan menjamin terciptanya tataniaga yang saling menguntungkan. Pelibatan sektor swasta seperti industri kecap maupun produk turunan kedelai lainnya dalam mendukung peningkatan produksi perlu dilakukan baik berupa jalinan kemitraan maupun bantuan asistensi teknologi. Masuknya sektor swasta dalam usaha kedelai akan mengindikasikan adanya peluang ekonomi yang tinggi.  Perumusan grand desain yang melibatkan semua stakeholder perlu segera dibuat. Dalam hal ini ego kepentingan masing-masing kementrian seperti pertanian dan perdagangan mutlak perlu dihilangkan. Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah pembentukan tim bersama yang handal untuk mengeksekusi kebijakan yang sudah dibuat agar dapat berjalan sesuai dengan target dilapangan.