home

Rabu, 23 November 2011

Kajian Teknologi Produksi Benih & Preferensi Petani Terhadap Varietas Unggul Kedelai di Maluku Utara

Chris Sugihono

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara
Komplek pertanian kusu no. 1, Sofifi, Kota Tidore Kepulauan


ABSTRAK
Perbenihan kedelai di Maluku Utara masih relatif tertinggal dibanding padi dan jagung. Petani lebih banyak memakai benih asalan atau turunan dari pertanaman sebelumnya. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan teknologi produksi benih kedelai yang dilakukan petani dan, mempelajari preferensi petani terhadap varietas kedelai di Maluku Utara. Kegiatan pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011 bertempat di 3 lokasi yaitu Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara. Metode yang dilakukan adalah survey dengan teknik wawancara terstruktur. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan Principal Component Analysis (PCA) menggunakan software SPSS 16. Hasil kajian menunjukkan Komponen teknologi produksi benih kedelai masih belum banyak dilakukan. Prinsip genetik seperti sejarah lahan, isolasi tanaman, penggunaan benih bermutu dari kelas benih yang lebih tinggi, dan roguing tidak pernah dilakukan. Prinsip agronomik yang petani selalu melakukan adalah pengolahan tanah, penanaman dengan jarak tanam, pengendalian hama penyakit, panen masak fisiolgis, dan pengeringan brangkasan. Sedangkan pengeringan biji, pengemasan benih, dan pengujian mutu tidak pernah dilakukan. Preferensi konsumen kedelai lebih cenderung kepada varietas berbiji besar, berwarna kuning mulus seperti varietas Anjasmoro dan Grobogan. Sedangkan varietas berbiji kecil dan sedang yang disukai konsumen adalah Kaba. Preferensi petani lebih cenderung kepada aspek waktu, tempat dan ketersediaan benihnya (jumlah).
Kata kunci: preferensi, teknologi, kedelai, Maluku Utara
PENDAHULUAN

Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan strategis di Indonesia setelah padi dan kedelai. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman dan murah. Kebutuhan kedelai terus meningkat tetapi produksinya belum mencukupi, hanya sekitar 43% dari total kebutuhan kedelai dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga dilakukan impor (Badan Litbang Pertanian, 2007). Produksi kedelai nasional tahun 2010 mencapai 905.015 ton dengan luas panen 672.242 ha dan produktivitas 1,346 ton/ha. Produksi kedelai ini mengalami penurunan dibanding tahun 2009 sebesar 7,13% yang disebabkan adanya penurunan luas panen sebesar 6,99% dan produktivitas menurun sebesar 0,15%. (BPS, 2011).
Senjang produktivitas kedelai di tingkat petani dengan potensi genetik tanaman kedelai masih cukup tinggi (>2 t/ha) disebabkan sebagian besar petani belum menggunakan benih bermutu dari varietas unggul dan teknik pengelolaan tanaman masih belum optimal (Adisarwanto, 2005). Arah pengembangan kedelai ke depan adalah pencapaian swasembada pada tahun 2014 dengan target produksi sebesar 2,7 juta ton, luas areal tanam 1,8 juta ha dan produktivitas sebesar 1,48 t/ha (Kementan, 2009). Jika dibandingkan dengan target produksi per tahunnya, maka produksi kedelai tahun 2010 hanya memenuhi 69,62%.
Pada tahun 2009, produksi kedelai di Maluku Utara mencapai 1.821 ton dengan tingkat produktivitas yang rendah yaitu 1,2 t/ha dan masih dibawah produktivitas kedelai nasional (BPS Maluku Utara, 2010). Dengan potensi sumberdaya lahan kering untuk tanaman pangan yang mencapai 2.669 ha dan potensi pasar yang cukup besar yaitu pada tahun 2007 harus mengimpor sebesar 10.117 ton kedelai dari luar daerah (BPTP Malut, 2008) sehingga cukup prospek untuk pengembangan kedelai dengan target sasaran memenuhi pangsa pasar lokal. Begitu juga usaha di sektor perbenihan juga masih belum tergarap.
Perbenihan kedelai di Maluku Utara masih relatif tertinggal dibanding padi dan jagung. Petani lebih banyak memakai benih asalan atau turunan dari pertanaman sebelumnya. Pemakaian benih unggul bersertifikat pada tanaman kedelai di Maluku Utara kurang dari 30%. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan (pasokan) benih bermutu dari varietas unggul di lapangan masih kurang dalam hal jumlah (kuantitas), kesesuaian varietasnya, mutunya, waktu tersedianya, lokasi/tempat penjualannya dan harga, serta belum berkembangnya usaha penangkaran benih yang mungkin disebabkan kondisi lingkungan usaha perbenihan kedelai yang belum kondusif. Belum terbangunnya jejaring kemitraan antara produsen benih, petani, dan juga konsumen kedelai juga ditengarai sebagai salah satu penyebab tidak berkembangan agribisnis kedelai di Maluku Utara (BPTP Malut, 2010). Kajian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui keragaan teknologi produksi benih kedelai yang dilakukan petani dan, (2) Mempelajari preferensi petani terhadap varietas kedelai di Maluku Utara. 


METODE PENGKAJIAN

Waktu dan Tempat
Kegiatan pengkajian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus 2011 bertempat di 3 lokasi yaitu Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan dan Kabupaten Halmahera Utara.
Metode
Kajian Teknologi produksi benih kedelai di Maluku Utara
Pengkajian ini bertujuan mengidentifikasi teknologi eksisting untuk produksi benih kedelai di Maluku Utara. Metode yang dilakukan adalah survey dan wawancara terstruktur dengan menggunakan instrumen kuisioner serta FGD untuk merumuskan masalah dan akar masalah. Data yang diperoleh adalah data primer dari 5 petani penangkar benih kedelai di Halmahera Utara, kemudian dianalisis secara deskriptif.

Studi preferensi petani terhadap varietas unggul kedelai
Pengkajian ini bertujuan mengetahui preferensi petani dan konsumen terhadap varietas unggul kedelai serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan varietas dan penggunaan benih bermutu.  Bahan yang digunakan adalah 11 varietas unggul kedelai yaitu Anjasmoro, Tanggamus, Bromo, Burangrang, Gepak Kuning, Gepak Ijo, Grobogan, Kaba, Panderman, SHR/W60, dan Sinabung. Metode yang digunakan adalah survey di 30 responden yang tersebar secara proporsional di 3 Kabupaten. Pemilihan responden dengan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh adalah data primer yang kemudian dianalisis secara deskriptif dan Principal Component Analysis (PCA) menggunakan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi Produksi Benih Kedelai Di Maluku Utara
Produksi benih kedelai di Maluku Utara relatif belum berkembang. Hasil pantauan di lapangan menunjukkan belum ada penangkar resmi yang memang bertujuan untuk menghasilkan benih. Hampir mayoritas petani menyisihkan benih dari pertanaman kedelai untuk tujuan konsumsi (save own seed). Hasil survey menunjukkan komponen teknologi produksi benih masih belum banyak dilakukan. Prinsip genetik seperti sejarah lahan, isolasi tanaman, penggunaan benih bermutu dari kelas benih yang lebih tinggi, dan roguing tidak pernah dilakukan. Sedangkan prinsip agronomik yang petani selalu melakukan adalah pengolahan tanah, penanaman dengan jarak tanam, pengendalian hama penyakit, panen masak fisiolgis, dan pengeringan brangkasan. Sedangkan pengeringan biji, pengemasan benih, dan pengujian mutu tidak pernah dilakukan. Hal ini dirasakan terlalu memberatkan petani mengingat harga jual benih kedelai juga tidak terlalu memberikan insentif nilai tambah produk (Tabel 1).

Tabel 1. Persentase petani terhadap penerapan teknologi produksi benih eksisting
Teknologi
Persentase petani responden (%)

Modus
tidak pernah (TP)
kadang-kadang (KK)
Sering (S)
selalu melakukan (SM)
Analisis sejarah lahan
70.0
26.7
3.3
0.0
TP
Isolasi
76.7
20.0
3.3
0.0
TP
Pengolahan tanah
6.7
3.3
13.3
76.7
SM
Pembuatan bedengan
66.7
16.7
6.7
10.0
TP
Benih bermutu
40.0
30.0
20.0
10.0
TP
Seed treatment
70.0
6.7
10.0
13.3
TP
Jarak tanam
13.3
3.3
36.7
46.7
SM
Roguing
80.0
13.3
6.7
0.0
TP
Pengendalian Hapen
0.0
20.0
20.0
60.0
SM
Panen masak fisiologis
0.0
23.3
30.0
46.7
SM
Pengeringan brangkasan
0.0
0.0
30.0
70.0
SM
Perontokan biji
0.0
26.7
53.3
46.7
S
Pengeringan biji
40.0
40.0
13.3
6.7
TP
Sortasi benih
36.7
53.3
6.7
3.3
KK
Pengemasan benih
56.7
23.3
20.0
0.0
TP
Pengujian mutu
76.7
13.3
10.0
0.0
TP

Hasil FGD dengan beberapa petani di lapangan menunjukkan beberapa analisis sumber masalah mengapa produksi maupun produktivitas kedelai di Maluku Utara masih rendah. Produktivitas rendah dikarenakan 3 hal yaitu petani masih menggunakan varietas lokal yang dahulunya merupakan turunan kesekian kali dari varietas Wilis yang diintroduksi melalui program Bimas tahun 1990-an. Varietas lokal ini memiliki mutu benih yang tidak diketahui tetapi secara kearifan lokal petani sudah bisa memilih mana benih yang bernas dan mana yang bukan dilihat dari fisik benih yang ada. Belum digunakannya varietas unggul ini juga disebabkan belum adanya penangkar benih di lokasi khususny dan Maluku Utara umumnya. Faktor penyebab lainnya adalah belum diterapkannya teknologi anjuran yang hal ini dikarenakan minimnya informasi teknologi budidaya yang sampai di petani. Hal ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak yaitu BPTP Maluku Utara sebagai agen inovasi Badan Litbang di daerah maupun PPL sebagai ujung tombak diseminasi inovasi. Selain itu kurangnya pendampingan juga menyebabkan belum diterapkannya teknologi anjuran serta saprodi yang tidak tepat, seperti kekosongan stok pupuk saat musim tanam tiba. Tipologi lahan kering berbeda dengan lahan sawah yang musim tanamnya lebih bisa diprediksi (Gambar 1).
PRODUKSI KEDELAI RENDAH

Tidak mengggunakan varietas unggul

Mutu benih rendah
Teknologi anjuran tdk diterapkan
Kendala biotik&abiotik
Minat petani rendah
Pertumbuhan gulma
kurangnya insentif harga
Pasar terbatas
Ketersediaan air kurang
Ancaman serangan hama
Belum adanya penangkar benih kedelai varietas unggul
minimnya informasi teknologi kedelai
Kurangnya pendampingan
Saprodi tidak memenuhi 6 tepat
Luas panen kecil
Produktivitas rendah (1,2 t/ha),
potensi hasil >2 t/ha
 














Gambar 1. Bagan Pohon Masalah Menurunnya Produksi Kedelai
Faktor kedua penyebab produksi kedelai rendah adalah kecilnya luas panen kedelai di Maluku Utara. Hal ini dikarenakan lahan yang tersedia mayoritas adalah lahan kering dengan berbagai kendala abiotik maupun biotik seperti ketersediaan air, gulma yang sulit dikendalikan, serangan hama, rendahnya kesuburan tanah, dan miskinnya bahan organik serta kemasaman lahan. Kendala tersebut juga didukung minat petani bertanam kedelai rendah. Insentif harga untuk komoditas kedelai di tingkat petani rendah, padahal harga kedelai impor yang didatangkan dari Surabaya bisa mencapai Rp 9000-12000,-/kg di lokasi pengrajin tahu dan tempe. Penataan rantai pemasaran yang berpihak pada petani menjadi agenda kedepan, disamping pasar komoditas kedelai relatif terbatas pada pengrajin tahu dan tempe. Hal ini agak berbeda dengan komoditas kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah yang bisa digunakan untuk konsumsi langsung maupun aneka olahan lainnya (Gambar 1).

Preferensi konsumen dan petani terhadap varietas unggul kedelai
Program peningkatan produksi kedelai melalui penggunaan varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi perlu juga memperhatikan kesesuaian varietas tersebut untuk produk olahan tertentu. Hal ini mengingat penggunaan kedelai di Maluku Utara masih terbatas untuk pembuatan tahu dan tempe. Selama ini pasokan kedelai masih dipenuhi dari kedelai impor yang didatangkan dari Surabaya. Menurut sebagian responden, seperti kalangan pengrajin tempe cenderung memilih kedelai impor sebagai bahan baku dibanding kedelai lokal karena pasokan bahan bakunya lebih terjamin, kualitas bijinya lebih baik dan hasil produk tempenya lebih bersih dan mekar.
Menurut pernyataan responden, jenis kedelai yang disukai pengrajin tahu dan tempe disesuaikan menurut penggunaannya. Jika digunakan untuk produksi tempe, mereka lebih menyukai yang berbiji besar karena dengan jumlah kedelai yang sedikit akan menghasilkan volume tempe yang besar. Sedangkan warna yang disukai adalah kuning karena akan menghasilkan warna tempe yang cerah. Sedangkan untuk produksi tahu, beberapa pengrajin memiliki preferensi yang beragam sesuai dengan pengalaman mereka dalam membuat tahu, ada yang menyukai biji besar tetapi ada juga yang menyukai biji sedang seperti Kaba. Secara umum untuk pembuatan tahu tidak terlalu mempertimbangkan faktor ukuran biji. Sedangkan hasil survey menunjukkan varietas Anjasmoro dan Grobogan lebih disukai konsumen dibanding varietas lainnya, sedangkan varietas Gepak Ijo adalah varietas yang tidak disukai. Alasan mereka memilih Anjasmoro dan Grobogan adalah kemiripan fisik dengan kedelai impor seperti warna yang kuning cerah, ukuran agak bulat, dan ukuran bijinya besar. Sedangkan alasan mereka tidak menyukai Gepak Ijo adalah warnanya kurang menarik, bahkan ada beberapa responden yang menyatakan Gepak Ijo merupakan kedelai yang belum masak tapi sudah dipanen. Sedangkan varietas biji sedang yang disukai konsumen adalah Kaba, dengan alasan jika dibuat tahu maka akan menghasilkan tekstur yang padat (Tabel 2).
Hasil penelitian Ginting et al. (2009), menyatakan ukuran biji kedelai memang merupakan faktor penentu kualitas tempe, terutama bobot dan volume tempe serta sifat sensorisnya. Sedangkan untuk produk tahu, variabel utama yang menetukan mutu hasilnya adalah kadar protein biji kedelai, terutama fraksi globulin yang menentukan rendemen dan tekstur tahu yang dihasilkan.
Selain konsumen dalam hal ini adalah pengrajin tahu dan tempe, petani kedelai juga memiliki preferensi terhadap varietas. Hasil survey menunjukkan ada 7 faktor yang menentukan pemilihan varietas bagi petani kedelai, dalam hal ini lebih bersifat on farm seperti umur panen, produktifitas, ukuran biji, warna biji, ketahanan terhadap penyakit, toleransi terhadap cekaman abiotik, dan kemudahan biji kedelai untuk dirontokkan. Dari beberapa faktor tersebut kemudian dilakukan analisis komponen utama (PCA) dan dihasilkan 3 faktor utama yaitu faktor agronomis yang meliputi umur panen, ketahanan terhadap penyakit, dan kerontokan biji. Kemudian faktor kedua adalah kualitas biji yang terdiri dari ukuran dan warna biji yang dihasilkan. Sedangkan faktor ketiga adalah hasil yang meliputi produktivitas (Tabel 3).



Tabel 2. Preferensi konsumen terhadap berbagai macam varietas kedelai
Varietas
Persentase responden (%)
Modus
tidak suka (TS)
kurang suka (KS)
cukup suka (CS)
Suka (S)
sangat suka (SS)
Wilis
0.0
10.0
43.3
36.7
10.0
CS
Argomulyo
0.0
3.3
33.3
43.3
20.0
S
Bromo
3.3
13.3
30.0
40.0
13.3
S
Burangrang
0.0
3.3
30.0
53.3
13.3
S
Tanggamus
26.7
36.7
33.3
3.3
0.0
KS
Kaba
0.0
6.7
16.7
46.7
30.0
S
Anjasmoro
3.3
0.0
3.3
30.0
63.3
SS
Sinabung
3.3
10.0
33.3
36.7
16.7
S
Panderman
0.0
10.0
43.3
36.7
10.0
CS
Gepak Ijo
46.7
33.3
10.0
3.3
6.7
TS
Gepak Kuning
0.0
13.3
40.0
43.3
3.3
S
Grobogan
3.3
3.3
23.3
50.0
30.0
S
SHR/W60
0.0
13.3
70.0
16.7
0.0
CS

Tabel 3. Analisis faktor yang mempengaruhi pemilihan varietas oleh petani
Variabel
Komponen Utama
1
2
3
Umur panen
.708
-.104
.357
Produktifitas
.031
-.066
.629
Ukuran biji
-.039
.896
-.213
Warna biji
.021
.708
.552
Ketahanan thd penyakit
-.660
.106
-.423
Toleransi thd cekaman abiotik
.592
.479
-.274
Kerontokan biji
.855
.098
-.212
Extraction Method: Principal Component Analysis.

Sedangkan variabel kunci yang menentukan penggunaan benih bermutu oleh petani diantaranya adalah harga benih, tempat penjualan, ketersediaan, mutu benih, jumlah, waktu, kesesuaian varietas, dan promosi. Dari variabel kunci tersebut, kemudian dilakukan analisis komponen utama (PCA) sehingga didapatkan 3 faktor utama, yaitu faktor pertama adalah harga, waktu. Label, dan promosi. Dari keempat variebel tersebut, variabel waktu memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu 0,853. Sedangkan faktor kedua adalah tempat dan kesesuaian varietas dimana tempat mempunyai korelasi tertinggi yaitu 0,803. Sedangkan faktor ketiga adalah ketersediaan dan mutu benih dimana variabel ketersediaan dalam sisi jumlah memiliki korelasi tertinggi yaitu 0,779 (Tabel 4). Berdasarkan hal tersebut maka strategi dalam penyediaan benih bermutu bisa dilakukan dengan merancang dan mengestimasi waktu, tempat, dan jumlah / kebutuhan benih kedelai.







Tabel 4. Analisis faktor yang mempengaruhi penggunaan benih bermutu oleh petani
Variabel
Komponen Utama

1
2
3
Harga benih
-.565
.395
-.270
Tempat penjualan
.320
.803
-.123
Ketersediaan (jumlah)
.224
-.057
.779
Mutu benih
-.318
.121
.761
Waktu penyediaan
.853
.075
-.055
Kesesuaian varietas
-.315
.709
.294
Label benih
-.696
.199
.055
Promosi
.635
.196
-.035
Extraction Method: Principal Component Analysis.

KESIMPULAN

Komponen teknologi produksi benih kedelai masih belum banyak dilakukan. Prinsip genetik seperti sejarah lahan, isolasi tanaman, penggunaan benih bermutu dari kelas benih yang lebih tinggi, dan roguing tidak pernah dilakukan. Prinsip agronomik yang petani selalu melakukan adalah pengolahan tanah, penanaman dengan jarak tanam, pengendalian hama penyakit, panen masak fisiolgis, dan pengeringan brangkasan. Sedangkan pengeringan biji, pengemasan benih, dan pengujian mutu tidak pernah dilakukan. Preferensi konsumen kedelai lebih cenderung kepada varietas berbiji besar, berwarna kuning mulus seperti varietas Anjasmoro dan Grobogan. Sedangkan varietas berbiji kecil dan sedang yang disukai konsumen adalah Kaba. Preferensi petani lebih cenderung kepada aspek waktu, tempat dan ketersediaan benihnya (jumlah).


DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2004. Strategi peningkatan produksi kedelai sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan mengurangi impor. Orasi Pengukuhan APU. Badan Litbang Pertanian. 50 hlm.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kedelai. Edisi ke-2. Jakarta: Departemen Pertanian.
BPS. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi Januari 2011. Edisi ke-8. Jakarta: Badan Pusat Statistik
BPS Maluku Utara. 2010. Maluku Utara dalam angka. Badan Pusat Statistik. Ternate
BPTP Malut. 2008. Penyusunan peta usahatani dan sumberdaya lahan pertanian di Halmahera Utara Utara. Laporan Pengkajian. Kerjasama dengan Dinas Pertanian Kab. Halmahera Utara. Sofifi
BPTP Malut. 2010. Pemetaan kebutuhan benih padi, jagung, kedelai di Maluku Utara. Laporan Pengkajian. Sofifi
Ginting E, SS. Antarlina, S. Widowati. 2009. Varietas unggul kedelai untuk bahan baku industri pangan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3): 73-87.
Kementan. 2009. Rencana strategis kementerian pertanian tahun 2010-2014. www.deptan.go.id (10 desember 2010)

*) Diterbitkan di Prosiding Seminar Regional Manado, 22 November 2011