home

Selasa, 03 Januari 2012

Potensi Sumberdaya Genetik (Plasma Nutfah) di Maluku Utara & Pengelolaannya


Sering kali secara awam kita jarang membedakan apa yang dimaksud dengan sumberdaya genetik (genetik resources) dan sumberdaya hayati (bioresources). Sumberdaya genetik atau plasma nutfah tanaman merupakan padanan istilah plant germplasm. Plasma nutfah tanaman adalah keanekaragaman fenotipik dan genetik yang dimiliki oleh setiap jenis (spesies) tanaman. Unsur plasma nutfah pada masing-masing spesies tanaman budidaya terdiri dari: varietas komersial, varietas lokal, galur harapan, F1 Hibrida, breeding materials, mutan, polyploid, aneuploid, komposit, galur sitoplasmik, landraces, maupun spesies liar.
Sedangkan sumberdaya hayati (bioresources) atau sering juga disebut keanekaragaman hayati (biodiversities) merupakan kisaran keanekaragaman spesies (jenis) tanaman yang tersedia pada suatu tempat, wilayah, agroekosistem, atau negara. Koleksi keanekaragaman hayati diwujudkan dalam bentuk kebun botani, koleksi tumbuhan, atau koleksi tanaman. Pembedaan istilah diawal tulisan ini ditujukan untuk menyamakan persepsi kita, sehingga kedepan pelaksanaan program-program bisa tepat sasaran. Tujuan tulisan ini adalah memaparkan peran petani dan penyuluh dalam mengelola plasma nutfah tanaman.

Potensi varietas lokal
Pertambahan penduduk yang sedemikian cepat menuntut penyediaan pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Konsekuensi logis dari hal ini adalah introduksi teknologi pertanian yang begitu masif untuk mencapai swasembada pangan. Penggunaan varietas unggul yang seragam dan indeks pertanaman yang sedemikian tinggi diduga menyebabkan bergesernya varietas lokal dan juga keragaman jenis tanaman yang sudah turun temurun dibudidayakan petani, terutama untuk tanaman pangan. Sedangkan untuk tanaman perkebunan dan buah, bergesernya jenis dan varietas lokal lebih banyak disebabkan gencarnya pembangunan seperti pemukiman dan fasilitas publik. 
Beberapa contoh tanaman yang sudah mulai bergeser diantaranya iles-iles (amorphophalus). Menurut darwis (2006), di Jepang tanaman ini populer sekali sebagai pencampur sukiyaki dengan sifat yang mengenyangkan dan rendah kalori. Bahkan untuk menangani iles-iles ini terdapat balai penelitian iles-iles atau yang bernama conyaku dama nongio skenjo. Padahal di Indonesia, tanaman tersebut sekarang sudah termasuk tanaman liar dan kalaupun ada hanya sebagai tanaman pekarangan.
Kemudian untuk tanaman hortikultura, contoh di Maluku Utara dahulunya terdapat beberapa varietas lokal yang pernah disukai masyarakat tetapi sekarang sudah hampir tidak kelihatan seperti jeruk Topo dengan karakter rasa buah yang manis, bawang Topo dengan ukuran yang kecil tetapi kandungan minyak atsiri yang tinggi, nangka Jingga dengan warna daging buah jingga, dan duku Bacan yang memiliki daya hasil yang tinggi.
Meskipun demikian, potensi varietas lokal yang masih ada juga masih banyak tersedia dan menjadi tugas kita bersama untuk mengelolanya sehingga ke depannya masih tetap eksis. Contohnya varietas lokal yang perlu dimanfaatkan keragaman genetiknya di Maluku Utara seperti pisang Mulut Bebek yang memiliki keunggulan rasa yang gurih, pisang Hawwa yang oleh masyarakat Tobelo Halmahera Utara bisa digunakan untuk pencegahan diabetes, anggrek Halmahera yang memiliki sekitar 27 jenis yang berbeda karakternya dengan aneka bentuk dan warna bunga, kenari Hapo dengan karakter ukuran biji yang lebih besar dari ukuran normal yang terdapat di Pulau Morotai dan juga Pulau Makian, pala Ternate dengan kandungan myristicin yang tinggi, pala Tidore dan pala Tobelo dengan ukuran biji yang agak besar, kelapa Igo Ratu dengan jumlah buah per tandannya yang bisa mencapai 100 buah yang terdapat di Pulau Ternate, bambu kuning dan bambu batik yang memiliki corak spesifik ditemukan di Hutan Gunung Gamalama, ubi kayu Jame-Jame yang produksi umbi rata-ratanya diatas 50 kg per pohon yang sekarang masih tetap dibudidayakan petani, dan masih ada sekitar 200an jenis tanaman yang diidentifikasi bisa digunakan sebagai obat.
Kemudian masih ada lagi contoh yang disampaikan oleh zuraida dan sumarno (2003), di Madura yang iklimnya kering dan masyarakatnya makan jagung, terbentuk varietas jagung lokal Madura yang berumur sangat genjah (60 hari–70 hari), tahan kekeringan, biji tahan simpan karena tidak mudah terserang hama gudang, dan rasanya enak. Kemudian di Papua yang masyarakatnya menggunakan ubijalar sebagai makanan utama, terbentuk varietas ubijalar lokal yang umbinya tahan lama di pertanaman, mudah matang bila dibakar (kadar patinya tinggi) dan adaptif pada suhu dingin. Menjadi tugas kita bersama untuk melestarikan, melindungi, dan mendaftarkan varietas lokal di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman sehingga keragaman genetiknya bisa dimanfaatkan.

  Pemberdayaan penyuluh dan petani dalam konservasi SDG
Tidak dapat dipungkiri bahwa Penyuluh pertanian merupakan ujung tombak pembangunan pertanian. Saat ini kemampuan dan keahlian penyuluh pertanian relatif stagnan sejak era BIMAS. Apalagi penyuluh saat ini adalah penyuluh polivalen yang harus menguasai semua disiplin ilmu. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan penyuluh tentang pentingnya sumberdaya genetik sudah harus di agendakan dalam setiap pelatihan. Sehingga secara tidak langsung tranformasi ilmu terkait peran pentingnya konservasi sumberdaya genetik bisa sampai ditingkat petani, pada akhirnya diharapkan bisa menangkal aksi pencurian plasma nutfah oleh pihak asing.
Kendala yang sering dihadapi adalah terbatasnya sumberdaya anggaran. Memang persoalan pengelolaan plasma nutfah menurut sumarno (2007) bersifat cost center artinya pengeluaran biaya tanpa mendatangkan penerimaan pendapatan secara langsung. Hal ini disebabkan manfaat yang sangat besar dari plasma nutfah tidak secara langsung dapat dinilai uang atau pendapatan negara. Nilai komersial yang tinggi justru terdapat pada perusahaan benih, yang memanfaatkan gen-gen berasal dari koleksi plasma nutfah. Sudah seharusnya perusahaan swasta melaksanakan  PP no. 35 tahun 2007 tentang kewajiban badan usaha untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk peningkatan kemampuan inovasi teknologi. Oleh karena itu percepatan pembentukan Komisi Daerah Sumberdaya Genetik perlu segera dilakukan sehingga dapat mencari sumber-sumber pembiayaan di daerah baik melalui APBD maupun swasta.
Selain konservasi plasma nutfah melalui eks situ dan gene bank yang dilakukan oleh pemerintah, maka tidak kalah pentingnya adalah peran petani yang secara sehari-harinya bersentuhan langsung dan mempunyai kepentingan untuk melestarikan plasma nutfah yang terdapat dalam varietas unggul lokal. Menurut Sumarno (2007) Ada beberapa peran cara partisipasi petani dalam pengelolaan plasma nutfah seperti melestarikan land races, varietas lokal dan variabilitas genetik spesies tanaman dengan cara menanam varietas-varietas lokal yang telah ditanam secara turun-temurun. Penyediaan benih untuk pertanaman musim berikutnya perlu dilakukan dengan cara sampling agar dapat mewakili variabilitas genetik varietas lokal yang ditanam.  
Cara lain yang bisa diterapkan adalah  membuat koleksi varietas lokal yang ditanam pada kebun desa. Pola ini sebenarnya cukup efektif untuk wilayah luar jawa yang masih memiliki luas lahan yang luas untuk membuat kebun desa. Untuk menstimulasi ini maka Pemerintah Daerah perlu mengapresiasi desa yang memiliki kebun koleksi plasma nutfah dengan menjadikan desa tersebut sebagai laboratorium lapang dan kompensasinya adalah peningkatan infrastruktur dan fasilitas publik di desa tersebut serta diterapkannya hak perwalian varietas lokal oleh masyarakat tersebut berdasarkan prinsip prior informed consent  artinya orang lain tetap diberi ijn untuk menggunakan benih varietas lokal tersebut (CBD, 1996).
Selain itu petani yang memiliki atau menemukan varietas lokal dibantu penyuluh diwajibkan untuk mengirimkan benihnya kepada Balai Penelitian/Pengkajian yang terdekat, karena konservasi plasma nutfah adalah kewajiban pemerintah yang akan disimpan di kebun percobaan dan gene bank. Jadi diharapkan dengan luasnya negara kita serta terbatasnya sumberdaya anggaran dan SDM peneliti, peran aktif masyarakat dapat menjadi benteng terakhir dalam pelestarian dan perlindungan sumberdaya genetik. Sehingga jangan sampai terjadi tanaman cengkeh yang menurut rumphius dalam Tojib (1975) aslinya berasal dari Pulau Makian di Maluku Utara, saat ini sudah menjadi cengkeh Zanzibar ***.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar